Jumat, 01 Juni 2012

Mendengar itu luar biasa


AKHIR-akhir ini kesibukan saya bertambah. Menjadi seorang kolektor. Koleksi saya bukan sejenis benda yang wajar dikoleksi. Bukan macam perangko. bukan pula sejenis benda-benda antik. Apalagi mobil antik. Lah, boro-boro koleksi mobil, motor saja masih kredit. Apa yang saya koleksi jelas murah meriah, yakni: kata-kata. Tepatnya kata-kata bijak yang bisa saya gunakan untuk menceramahi anak-anak didik saya.
TENTANG ceramah-menceramahi itu juga kesibukan lain saya yang baru. Senang rasanya jika bisa memberikan pencerahan untuk orang lain. Apalagi jika kata-kata yang saya pilih betul-betul singkat, tegas dan mengena. Terkadang rasa menguasai orang lain itu sungguh terasa. Mungkin rasa itu yang membuat mereka enggan bergeser dari kursi kekuasaan.

Terkadang saya perlu memberi bumbu ini dan itu di sela-sela wejangan saya. Jika semua itu demi kebaikan mereka dan tak buruk juga, maka boleh lah menurut saya. Membuat siswa terbengong-bengong mendengar cerita kehebatan saya jelas sebuah kesenangan tersendiri. Mendengar pujian mereka meski sepintas kilas adalah bentuk penghargaan yang murah tapi berkesan.
Tak lupa mimik dan posisi tubuh juga saya atur sedemikian rupa untuk mendukung kewibawaan saya. Maklumlah, saya bukan orang berpostur tinggi besar atau gagah rupawan yang bisa membuat orang kagum meski saat batuk sekali pun. Body language jelas penting untuk “pekerjaan” jenis ini bagi saya.
Kata-kata yang keluar pun harus seminimal mungkin. Ini untuk menambah kesan bahwa hanya dengan sedikit kata, tapi berjuta makna bisa saya edarkan. Jeda kalimat juga harus di atur. Tak boleh terlalu cepat atau terlalu lambat. Jenis suara harus berat. Karena suara yang lembut jelas hanya akan membuat kelopak mata mereka semakin malu untuk selalu terbuka. Jadi intinya, kesibukan saya dalam memburu kata-kata memang sungguh sangat diperlukan. Terutama saat saya berhadapan dengan kondisi seperti ini. Maka saya rela menghabiskan begitu banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk memburunya.
Praktik ini saya sering terapkan di sekolah dan ruang kelas. Di saat saya kehabisan ilmu untuk saya berikan pada anak-anak, maka muncullah semua koleksi kata-kata bijak saya. Sesekali menceritakan pengalaman diri itu perlu untuk sekadar contoh. Dan hasilnya luar biasa, anak-anak menjadi begitu patuh dan hormat pada saya. Apalagi jika nada keras sudah muncul di balik kata-kata bijak saya, pasti segera mereka menunduk untuk menghindari tatapan saya.
Sayangnya saya sering lupa, bahwa mulut ini tak lebih banyak dari telinga saya. Bahwa itu mungkin menjadi simbol dari Tuhan agar manusia lebih sering mendengar dari berkata-kata, sudah saya lupakan. Akibatnya, saya betul-betul sudah terbuai. Apa yang menjadi hak anak-anak berupa ilmu dan perhatian musnah sudah. Waktu mereka habis demi unjuk gigi saya.
Awalnya saya tak menyadari itu. Maklum perasaan angkuh ini jelas menguasai kesadaran dan harga diri saya. Tapi, sebuah perjalanan tak disengaja membuat saya terhenyak dan tersadar. Saat itu saya baru mengetahui sebuah rumah yang ternyata di huni oleh salah seorang dari siswa saya.
Bukan karena sederhana atau mewah. Bukan juga karena apa yang ada di dalam dan di luar rumah itu. Tapi karena betapa jauhnya letak rumah itu dari sekolah kami. Jarak yang saat itu terasa begitu jauh saya lalui, menjadi jarak yang harus dia tempuh setiap harinya. Pagi berangkat dan sore pulang. Melalui lintasan yang berkelok, curam dan dengan jumlah bus umum yang jarang melintas.
Pernah suatu pagi si anak terlambat masuk kelas saat jam saya. Penjelasan apapun segera saya tolak. Alasan apapun tak merubah niat saya untuk memberikan sanksi tegas baginya. Bagi saya peraturan tetaplah peraturan. Dan harus ditegakkan demi keadilan dan kedisiplinan. Dan seperti biasa, sebelum dan sesudah hukum itu ditegakkan berbagai kata-kata nasihat dan omelan bercampur baur menjadi satu.
Eloknya perasaan menang setelah memberikan petuah itu juga datang. Maka tanpa beban dan perasaan apapun semua kejadian pagi itu saya lalui dengan lancar. Hingga sepulang dari perjalanan tak disengaja itu. Kesadaran itu muncul, bahwa ternyata mereka pun tak seluang apa yang saya kira. Kesibukan saya ini ternyata tak sesibuk mereka dalam melayani kesibukan kita.
Sesekali saya harus perlu mendengar apa yang mereka sampaikan. Sesekali saya pun harus meluangkan waktu untuk sekadar memberikan keberanian pada mereka untuk berbicara. Jika saat itu saya mendengarkan alasan dia, maka saya pun pasti akan memahaminya. Jadi sebenarnya semua ini hanya karena saya yang tidak memberikan kesempatan untuknya berkata-kata. Justru saya yang sibuk berkata-kata dan menutup diri dari mendengar orang lain.
Saya suka bersikap praktis saja. Saat mereka melakukan pelanggaran kita berikan sanksi. Saat kita berada di posisi sebaliknya, mudah saja kita mendengarkan ego diri. Orang dewasa seperti saya, sebenarnya tidak begitu beda dengan anak-anak. Saya terkadang bisa jahat dan salah. Salah karena kesalahan diri atau salah karena menyalahkan anak-anak yang belum tentu salah.
Karena cacat kecil, emosi itu bisa meledak begitu murka. Petuah pun harus diembel-embeli dengan pencarian pujian. Segala sesuatunya harus tentang aku. Jika kau bukan aku dan melakukan sesuatu yang tidak aku lakukan, maka kau harus siap menerima setiap peraturan aku. Tapi jangan sampai kau seperti aku karena ketika kau menjadi semakin mirip aku, maka aku akan segera berganti menjadi aku yang lain agar aku bisa membuat kau menerima hukum aku selalu.
Kini saya harus menambah kesibukan lain, yakni: belajar mendengar orang lain. Belajar untuk tidak terlalu terburu-buru memotong kata-kata mereka meski harus menunggu lama. Belajar untuk tulus ketika menyetujui apa yang mereka usulkan. Juga belajar untuk tidak sekadar berkata-kata.
Bahwa anak-anak itu harus mendengar apa yang saya sampaikan itu pasti. Tapi berdiam diri dan menyimak tatkala mereka menyampaikan sesuatu itu juga harus. Lebih baik menyesal tidak berkata-kata jauh lebih baik dari pada menyesal telah berkata-kata. Karena lidah ini jauh lebih tajam dari pedang. Saat kata-kata telah terucap, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup menghilangkannya meskipun berjuta permintaan maaf sudah tersampaikan.
Jadi ketika suatu saat kelak saya lupa dengan kesibukan baru ini, maka saya harus bersiap merasa sia-sia atas ilmu yang tidak bermanfaat. Kita tunggu dan lihat saja.
AKHIR-akhir ini kesibukan saya bertambah. Menjadi seorang kolektor. Koleksi saya bukan sejenis benda yang wajar dikoleksi. Bukan macam perangko. bukan pula sejenis benda-benda antik. Apalagi mobil antik. Lah, boro-boro koleksi mobil, motor saja masih kredit. Apa yang saya koleksi jelas murah meriah, yakni: kata-kata. Tepatnya kata-kata bijak yang bisa saya gunakan untuk menceramahi anak-anak didik saya.
TENTANG ceramah-menceramahi itu juga kesibukan lain saya yang baru. Senang rasanya jika bisa memberikan pencerahan untuk orang lain. Apalagi jika kata-kata yang saya pilih betul-betul singkat, tegas dan mengena. Terkadang rasa menguasai orang lain itu sungguh terasa. Mungkin rasa itu yang membuat mereka enggan bergeser dari kursi kekuasaan.

Terkadang saya perlu memberi bumbu ini dan itu di sela-sela wejangan saya. Jika semua itu demi kebaikan mereka dan tak buruk juga, maka boleh lah menurut saya. Membuat siswa terbengong-bengong mendengar cerita kehebatan saya jelas sebuah kesenangan tersendiri. Mendengar pujian mereka meski sepintas kilas adalah bentuk penghargaan yang murah tapi berkesan.
Tak lupa mimik dan posisi tubuh juga saya atur sedemikian rupa untuk mendukung kewibawaan saya. Maklumlah, saya bukan orang berpostur tinggi besar atau gagah rupawan yang bisa membuat orang kagum meski saat batuk sekali pun. Body language jelas penting untuk “pekerjaan” jenis ini bagi saya.
Kata-kata yang keluar pun harus seminimal mungkin. Ini untuk menambah kesan bahwa hanya dengan sedikit kata, tapi berjuta makna bisa saya edarkan. Jeda kalimat juga harus di atur. Tak boleh terlalu cepat atau terlalu lambat. Jenis suara harus berat. Karena suara yang lembut jelas hanya akan membuat kelopak mata mereka semakin malu untuk selalu terbuka. Jadi intinya, kesibukan saya dalam memburu kata-kata memang sungguh sangat diperlukan. Terutama saat saya berhadapan dengan kondisi seperti ini. Maka saya rela menghabiskan begitu banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk memburunya.
Praktik ini saya sering terapkan di sekolah dan ruang kelas. Di saat saya kehabisan ilmu untuk saya berikan pada anak-anak, maka muncullah semua koleksi kata-kata bijak saya. Sesekali menceritakan pengalaman diri itu perlu untuk sekadar contoh. Dan hasilnya luar biasa, anak-anak menjadi begitu patuh dan hormat pada saya. Apalagi jika nada keras sudah muncul di balik kata-kata bijak saya, pasti segera mereka menunduk untuk menghindari tatapan saya.
Sayangnya saya sering lupa, bahwa mulut ini tak lebih banyak dari telinga saya. Bahwa itu mungkin menjadi simbol dari Tuhan agar manusia lebih sering mendengar dari berkata-kata, sudah saya lupakan. Akibatnya, saya betul-betul sudah terbuai. Apa yang menjadi hak anak-anak berupa ilmu dan perhatian musnah sudah. Waktu mereka habis demi unjuk gigi saya.
Awalnya saya tak menyadari itu. Maklum perasaan angkuh ini jelas menguasai kesadaran dan harga diri saya. Tapi, sebuah perjalanan tak disengaja membuat saya terhenyak dan tersadar. Saat itu saya baru mengetahui sebuah rumah yang ternyata di huni oleh salah seorang dari siswa saya.
Bukan karena sederhana atau mewah. Bukan juga karena apa yang ada di dalam dan di luar rumah itu. Tapi karena betapa jauhnya letak rumah itu dari sekolah kami. Jarak yang saat itu terasa begitu jauh saya lalui, menjadi jarak yang harus dia tempuh setiap harinya. Pagi berangkat dan sore pulang. Melalui lintasan yang berkelok, curam dan dengan jumlah bus umum yang jarang melintas.
Pernah suatu pagi si anak terlambat masuk kelas saat jam saya. Penjelasan apapun segera saya tolak. Alasan apapun tak merubah niat saya untuk memberikan sanksi tegas baginya. Bagi saya peraturan tetaplah peraturan. Dan harus ditegakkan demi keadilan dan kedisiplinan. Dan seperti biasa, sebelum dan sesudah hukum itu ditegakkan berbagai kata-kata nasihat dan omelan bercampur baur menjadi satu.
Eloknya perasaan menang setelah memberikan petuah itu juga datang. Maka tanpa beban dan perasaan apapun semua kejadian pagi itu saya lalui dengan lancar. Hingga sepulang dari perjalanan tak disengaja itu. Kesadaran itu muncul, bahwa ternyata mereka pun tak seluang apa yang saya kira. Kesibukan saya ini ternyata tak sesibuk mereka dalam melayani kesibukan kita.
Sesekali saya harus perlu mendengar apa yang mereka sampaikan. Sesekali saya pun harus meluangkan waktu untuk sekadar memberikan keberanian pada mereka untuk berbicara. Jika saat itu saya mendengarkan alasan dia, maka saya pun pasti akan memahaminya. Jadi sebenarnya semua ini hanya karena saya yang tidak memberikan kesempatan untuknya berkata-kata. Justru saya yang sibuk berkata-kata dan menutup diri dari mendengar orang lain.
Saya suka bersikap praktis saja. Saat mereka melakukan pelanggaran kita berikan sanksi. Saat kita berada di posisi sebaliknya, mudah saja kita mendengarkan ego diri. Orang dewasa seperti saya, sebenarnya tidak begitu beda dengan anak-anak. Saya terkadang bisa jahat dan salah. Salah karena kesalahan diri atau salah karena menyalahkan anak-anak yang belum tentu salah.
Karena cacat kecil, emosi itu bisa meledak begitu murka. Petuah pun harus diembel-embeli dengan pencarian pujian. Segala sesuatunya harus tentang aku. Jika kau bukan aku dan melakukan sesuatu yang tidak aku lakukan, maka kau harus siap menerima setiap peraturan aku. Tapi jangan sampai kau seperti aku karena ketika kau menjadi semakin mirip aku, maka aku akan segera berganti menjadi aku yang lain agar aku bisa membuat kau menerima hukum aku selalu.
Kini saya harus menambah kesibukan lain, yakni: belajar mendengar orang lain. Belajar untuk tidak terlalu terburu-buru memotong kata-kata mereka meski harus menunggu lama. Belajar untuk tulus ketika menyetujui apa yang mereka usulkan. Juga belajar untuk tidak sekadar berkata-kata.
Bahwa anak-anak itu harus mendengar apa yang saya sampaikan itu pasti. Tapi berdiam diri dan menyimak tatkala mereka menyampaikan sesuatu itu juga harus. Lebih baik menyesal tidak berkata-kata jauh lebih baik dari pada menyesal telah berkata-kata. Karena lidah ini jauh lebih tajam dari pedang. Saat kata-kata telah terucap, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup menghilangkannya meskipun berjuta permintaan maaf sudah tersampaikan.
Jadi ketika suatu saat kelak saya lupa dengan kesibukan baru ini, maka saya harus bersiap merasa sia-sia atas ilmu yang tidak bermanfaat. Kita tunggu dan lihat saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar